Seperti apa pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di Rumah Budaya Indonesia (RBI) Berlin, Jerman?

Berikut ini akan saya paparkan informasinya.

Silakan klik di sini.

Dresden: Kota dengan penuh bangunan bersejarah

Veröffentlicht: Mai 3, 2020 in Allgemein
Liburan musim panas tahun lalu saya dan keluarga mengunjungi sebuah kota di bekas negara Jerman bagian timur, yaitu kota Dreden. Dresden adalah ibu kota negara bagian Saxony. Kota ini berjarak sekitar 185 kilometer dari kota Berlin, tempat kami tinggal.
Tiba di Stasiun utama Dresden kami langsung menuju ke penginapan yang berlokasi tidak jauh dari stasiun utama. Hanya menggunakan tram selama sepuluh menit kami tiba di hotel. Hotelnya cukup nyaman dan letaknya tidak jauh dari tempat-tempat yang biasa turis datangi di kota Dresden. Beberapa tempat di Dresden yang kami kunjungi bisa disimak di bawah ini.
Zwinger
Zwinger adalah sebuah kompleks bangunan dengan taman yang indah di Dresden. Nama Zwinger digunakan di Abad Pertengahan untuk menjelaskan bagian benteng antara dinding benteng luar dan dalam. Namun, saat ini Zwinger tidak lagi memiliki fungsi sesuai dengan nama pada awal konstruksi. Zwinger kemungkinan besar adalah bangunan bergaya barok terakhir yang paling penting yang dapat ditemukan di Jerman. Sebuah mahakarya seni yang terdiri dari arsitektur, patung, dan lukisan. Zwinger dibangun mulai tahun 1710 hingga 1728. Sekarang tempat ini menjadi galeri bagi berbagai lukisan terkenal. Di sini juga kita dapat menemukan koleksi porselen, koleksi keramik berkelas di dunia. Tempatnya sangat luas.
Zwinger.jpeg
Zwinger, Bangunan bergaya barok di Dresden
 
Dresden, dulu pernah menjadi salah satu kota terindah di Eropa, dan saat ini kota ini telah kembali menunjukkan kemegahannya seperti dulu. Zwinger bagi kami sungguh sangat mengesankan dengan gaya bangunan baroknya yang indah. Zwinger terletak di jantung kota Dresden. Kapanpun kita mengunjungi Zwinger baik di siang hari maupun di malam hari, baik musim panas seperti saat ini atau di musim lainnya, keindahannya sangat mempesona. Di musim panas seperti saat ini kita bisa melihat air-air mancur. Jika kita berada di Dresden untuk pertama kali, tempat ini wajib untuk kita kunjungi.
Kami benar-benar menikmati berjalan-jalan di tamannya yang sangat luas. Kunjungan ke Zwinger ini gratis, hanya tempat seperti galeri saja yang dikenakan biaya masuk. Di sini kita dapat melihat galeri lukisan yang fantastis dan ada pula koleksi porselen. Jalan-jalan di bagian atas Zwinger, yang menghubungkan semua bagian, sangat direkomendasikan. Akses ke bagian atas Zwinger bisa kita temukan di dekat galeri melalui tangga dan pemandangan dari atas Zwinger ke kota tua Dresden benar-benar menakjubkan. Kita pasti tidak akan menyesal dengan kunjungan ke Zwinger ini.
Gedung Pertunjukan Semperoper
Berjarak hanya 170 meter dari Zwinger terletak sebuah gedung pertunjukan bernama Semperoper yang memiliki sejarah panjang sebagai istana dan opera negara di Saxony. Gedung ini dibangun antara tahun 1838 dan 1841 oleh Gottfried Semper dan menjadi korban pemboman Dresden pada tanggal 13 dan 14 Februari 1945. Rekonstruksi gedung ini berlangsung dari tahun 1977. Gedung mulai dibuka kembali pada tahun 1985.
Semperoper.jpeg
Gedung pertunjukkan Semperoper
 
Semperoper adalah salah satu gedung opera paling indah di dunia dan merupakan gedung tempat Saxon State Orchestra Dresden menampilkan berbagai pertujukkan mereka. Semperoper terletak di Theaterplatz di pusat kota bersejarah Dresden di dekat sungai Elbe. Nama gedung ini diambil dari nama orang yang mengarsitekinya, yaitu Gottfried Semper. Dalam kurun waktu antara 2017-2018 saja sekitar 290.000 pengunjung menghadiri konser simfoni, opera, dan pertunjukan balet yang diselenggarakan di gedung opera ini. Jika kita ingin melihat-lihat keindahan gedung Semperoper ini kita cukup mengeluarkan uang 11 Euro untuk ikut tour yang ditawarkan penyelenggara. Gedung ini memiliki sekitar 1.300 kursi untuk penonton.
Residenzschloss atau Istana Raja
Dresden Residenzschloss pernah menjadi pusat kekuasaan bagi para raja Saxon. Pertama kali disebutkan pada abad ke-14 sebagai kastil. Istana bersayap empat ini dibangun pada abad ke-15. Setelah dihancurkan oleh api pada tahun 1701, kastil dibangun kembali di bawah kepemimpinan Raja August yang Kuat. Seperti juga Frauenkirche yang hancur pada perang dunia kedua, Istana inipun luluh lantah saat itu. Residenzschloss merupakan salah satu bangunan tertua di kota Dresden dan sangat sejarah, karena kita dapat melihat semua gaya bangunan mulai dari Romawi hingga Historisme pada bangunan ini. Sama seperti halnya bangunan-bangunan penting lainnya di Dresden yang hancur, Residenzschloss juga menjadi salah satu korban dari serangan udara menjelang akhir Perang Dunia Kedua. Istana ini terbakar pada 13 Februari 1945.
Residenzschloss.jpeg
Residenzschloss atau Istana Raja
 
Frauenkirche dan Neumarkt
Tempat lain yang bisa kita kunjungi di Dreden yaitu Frauenkirche. Nama asli dari Frauenkirche ini sebenarnya adalah „Unserer Lieben Frauen“ (Our Lady) yang merujuk pada Bunda Maria. Nama tersebut kemudian disingkat menjadi „Frauenkirche“ yang dari waktu ke waktu dipertahankan bahkan setelah zaman Reformasi, meskipun Gereja Evangelis tidak mengenal pengabdian kepada Bunda Maria. Frauenkirche adalah sebuah bangunan gereja Protestan yang monumental dan salah satu pusat wisata di kota Dreden dan selalu menjadi magnet tersendiri bagi para turis untuk datang ke sini. Frauenkirche adalah simbol kota lama dan baru. Gereja ini dibangun antara tahun 1726 dan 1743. Namun, saat perang dunia gereja berarsitektur indah ini dihancurkan oleh tentara sekutu. Gereja dibangun kembali sejak tahun 1990-an dengan sebagian besar biaya dari sponsor dan donatur. Sebanyak 8.425 batu tua digunakan dalam rekonstruksi. Sekitar 7.100 di antaranya digunakan untuk fasade luar dan 1.640 untuk altar. Proses pembangunan kembali tersebut konon menelan biaya sekitar 131 juta Euro. Setelah melewati proses panjang Frauenkirche baru dibuka kembali pada tahun 2005 untuk umum.
Frauenkirche.jpeg
Bagian depan Frauenkirche
 
Dalam proses rekonstruksi Frauenkirche, Neumarkt di sekitarnya juga secara bertahap direkonstruksi. Setelah Perang Dunia Kedua, alun-alun kota paling penting di sebelah Altmarkt hampir tidak tersentuh selama setengah abad. Hampir bersamaan dengan rekonstruksi Frauenkirche, kegiatan pembangunan pun dimulai kembali, rumah-rumah bergaya baroque yang khas dibangun kembali. Dresden sejak saat itu memiliki pusat kota baru.
Fürstenzug
Fürstenzug atau „Prosesi Pangeran“ menghubungkan Neumarkt dengan Schlossplatz di belakang Residenzschloss.
Penguasa keluarga Wettin digambarkan pada mural sepanjang 101 meter dan tingginya 11 meter yang terbuat pada sekitar 23.000 ubin porselen Meissen. Fürstenzug terletak di luar halaman Schlossplatz. Mural ini menggambarkan sejarah keluarga penguasa Saxon dan gambaran dari kehidupan prosesi berkuda. Karya seni sepanjang 101 meter ini dianggap sebagai mural porselen terbesar di dunia yang menggambarkan kisah kehidupan di Saxony antara 1127 dan 1873 di bawah peerintahan Wettin.
Fuerstenzug.jpeg
Mural terpanjang sedunia
 
Serangan udara di kota Dresden pada akhir Perang Dunia Kedua pada bulan Februari 1945 untungnya tidak merusak total mural ini. Namun, porselen terbakar oleh panasnya api. Dari 1978 hingga 1979 gambar-gambar itu kemudian dibersihkan dan dipulihkan. 212 porselen yang sebagian besar hancur karena serangan udara harus diganti.
Setelah cukup puas selama seharian jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat wisata di Dresden kami pun kembali ke penginapan untuk melepas lelah. Sebetulnya masih banyak spot lain yang dapat kita kunjungi di kota Dresden yang indah ini. Namun, pada tulisan kali ini saya hanya menyebutkan beberapa saja.
 
Untuk video bisa dilihat di sini.

Nasi Daun Jeruk

Veröffentlicht: Mai 2, 2020 in Allgemein
Schlagwörter:, , ,

Membuat Nasi Daun Jeruk yang lagi Viral yuk !
Nasi Daun Jeruk 1

Dengan bahan yang sangat sederhana kita hanya memakai 3 bahan saja, mudah, enak dan semua pasti bisa membuatnya.
Semoga menu ini menambah daftar varian olahan nasi dirumah yaa

Bahan-bahan yang diperlukan :

3 centong nasi matang
3 siung bawang putih, cincang halus
15 lembar daun jeruk
Kaldu jamur
2 sdm margarin

Cara membuat:
Panaskan penggorengan atau teflon, masukkan margarin sampai mencair.
Masukkan bawang putih cincang dan tumis hingga harum.
Masukkan irisan daun jeruk yang sudah dicincang halus, tumis sebentar lalu matikan kompornya.
Siapkan wadah bersih untuk meletakkan nasi matang, masukkan bahan tumisan ke dalam nasi, lalu aduk hingga rata.
Terakhir tambahkan kaldu jamur secukupnya.
Nasi daun jeruk siap dihidangkan 😉

Nasi Daun Jeruk 2

 

Untuk video pembuatannya bisa klik di sini. Selamat mencoba!

Batik goes to German School

Veröffentlicht: September 16, 2019 in Allgemein

Jumat pagi (6/9/2019) di ruang aula sekolah internasional Berlin Brandenburg International School (BBIS) ada hal unik bagi siswa kelas lima SD. Mereka hari ini mengikuti kegiatan workshop batik. Tak kurang dari 50 siswa dengan antusias mengikuti workshop tersebut.

Acara workshop dengan tajuk „Batik goes to school“ ini sendiri merupakan hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia melalui KBRI Berlin dengan sekolah BBIS. Tepat pukul 08.30 waktu setempat acara dimulai. Bertindak sebagai instruktur pada workshop ini adalah Suharjito, S.Sn, M.Sn. Pria kelahiran kota Sleman 38 tahun silam yang biasa dipanggil Ito ini sudah cukup lama menggeluti kerajinan membatik. Dia didampingi oleh Nathan Schrom, guru kesenian sekolah, dan beberapa guru kelas.

Ito yang saat ini sedang mengikuti Magang Luar Negeri di Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Berlin dan Rumah Budaya Berlin Jerman memulai kegiatan workshop dengan menyapa seluruh peserta „Hello!“. Namun, dia meminta para siswa yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia itu untuk menjawabnya dengan “Hi!”. Begitu sebaliknya, ketika dia berkata “Hi!” seluruh siswa menjawabnya dengan “Hello!”. Lalu, dia juga bertanya kepada para siswa apa yang mereka ketahui tentang Indonesia. Salah seorang siswa bernama Alexander mengangkat tangannya. “Saya tahu warna bendera Indonesia merah di bagian atas dan warna putih di bawahnya. Masing-masing 50%.”

Pada sesi pertama Ito mengajak para peserta untuk menggambar pemandangan. Mereka diberi waktu sekitar lima menit. Setelah semua selesai Ito meminta dua perwakilan siswa untuk menceritakan gambarnya di hadapan teman lainnya. Pada sesi berikutnya para siswa diminta untuk menggambar bentuk geometri kemudian dari bentuk tersebut mereka bisa berimajinasi untuk membuat motif binatang, bunga, dan motif alam lainnya. Kreasi siswa dalam menggambar sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya ada yang menggambar binatang seperti burung, kura-kura, kera, ular, kupu-kupu dan sebagainya. Ada juga yang membuat motif matahari, pohon hingga jam wecker. Yang tidak kalah menarik adalah motif yang dibuat Alexander. Siswa yang mengaku gemar pelajaran Geografi ini menggambar bendera merah putih.

Pada sesi selanjutnya setiap siswa mendapatkan kain katun berwarna putih dan menjiplak motif yang mereka gambar pada kertas A3 sebelumnya. Tahapan demi tahapan diikuti seluruh siswa dengan suka cita. Mereka terlihat senang dengan pengalaman pertama mereka berkreasi batik ini. Selanjutnya, Ito memutar sebuah video yang menunjukkan bagaimana penggunaan canting. Ito menjelaskan bagaimana mereka harus memegang canting dan memosisikannya sekitar 45 derajat.

Motif batik yang sudah dijiplak siswa pada kainnya masing-masing lalu dibentuk dengan cairan lilin menggunakan canting. Mereka duduk lesehan secara berkelompok yang terdiri dari 5-6 orang siswa didampingi oleh guru. Beberapa siswa terkena panas lilin yang tumpah dari canting. Beruntung tidak luka. Siswa tampak bersemangat membentuk motif mereka masing-masing. Salah satu guru meminta ijin kepada Ito untuk memutar alunan gamelan Jawa pada saat semua siswa tengah membatik. Suasana pun seketika berubah seperti di Indonesia.

Pada tahapan terakhir, Ito mengajak seluruh siswa mewarnai kain sesuai dengan kreasi mereka. Banyak dari gambar-gambar kreasi siswa tersebut tak ubahnya seperti batik sungguhan yang biasa kita dapati di toko batik. Ketika semua tahapan terlewati para siswa terlihat senang dengan pengalaman mereka hari ini. Seperti kesan yang diutarakan Alexander “I like it because it’s very nice and very useful for my life.” Dia sangat puas dengan hasil karyanya. Selain itu, dia juga sangat senang karena meski dia belum pernah pergi ke Indonesia namun dia sudah dapat merasakan pengalaman yang sangat berharga untuk membuat batik yang sejak 2 Oktober 2009 ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi.

Ungkapan senada dilantarkan oleh Nathan Schrom. Pria asal Amerika Serikat yang sudah tinggal di Jerman cukup lama ini menyebutkan bahwa kegiatan seni membatik ini sesuatu yang spesial bagi  para siswa. Dia menjelaskan jika biasanya mereka menggambar seni modern atau abstrak, kali ini siswa diperkenalkan dengan seni tradisional yang bernilai seni tinggi. Material dari lilin dan bau yang sedikit menyengat ketika lilin tersebut dipanaskan tentu saja tidak lazim bagi para siswa. Kendati demikian, menurutnya justru hal itu membuat para siswa cukup menikmati kegiatan membatik ini. Para siswa, tambah Schrom, saat ini juga sedang mendalami Cultural Expressions. Batik sebagai visual art di samping makanan dan pakaian dari berbagai bangsa yang setiap minggunya dipelajari siswa tentunya bisa menjadi salah satu contoh seni nyata.

 

Tulisan ini telah dimuat di:

https://www.timesindonesia.co.id/read/228755/20190912/000614/serunya-siswa-berlin-brandenburg-international-school-saat-ikut-workshop-batik/

https://www.timesindonesia.co.id/read/228907/20190913/021028/some-students-of-berlin-brandenburg-international-school-joining-the-batik-workshop/

Senandung merdu dari kelompok Gemilang Berlin yang menyanyikan dua buah lagu keroncong membawa penonton secara fiktif nun jauh ke tanah air. Masing-masing berjudul „Bengawan Solo“ dan „Bandar Jakarta“ yang sudah familiar di telinga pecinta musik Indonesia. Menariknya, lagu-lagu tersebut dinyanyikan di Haus der indonesischen Kulturen (Rumah Budaya Indonesia) di Berlin, Jerman.

Hari Sabtu (1/6/19) bertepatan dengan Hari Lahirnya Pancasila, Rumah Budaya Indonesia yang berlokasi di Theodor-Franke-Strasse 11, Berlin, menyelenggarakan Lomba Berpidato dan Bercerita Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (LBB BIPA). „LBB BIPA adalah program tahunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diselenggarakan di 21 Kedutaan Besar Republik Indonesia. KBRI Berlin adalah salah satunya.“, ungkap Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Ahmad Saufi. Ia juga menambahkan bahwa LBB BIPA ini bertujuan untuk mengukur keterampilan berbahasa Indonesia penutur asing serta pengetahuan dan pemahaman mereka tentang budaya Indonesia.

Tema „Toleransi“ yang diangkat LBB BIPA pada tahun ini merupakan kelanjutan tema dari lomba pada tahun sebelumnya. Tema LBB BIPA tahun 2018 adalah „Persatuan dalam keberagaman“. Sementara itu, khusus untuk lomba bercerita dibatasi pada pemahaman antarbudaya yang terkandung dalam cerita Indonesia yang mengandung nilai kearifan lokal Indonesia yang universal.

Final LBB BIPA 2019 di Berlin dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman, Arif Havas Oegroseno. Ia sangat terkesan dengan antusiasme warga Jerman mengikuti lomba ini dan berterima kasih untuk keikutsertaan mereka.

Tepat pukul 15.00 waktu setempat lomba dimulai. Satu persatu peserta berpidato. Salah satunya bernama Nicklas Fricke. Pria kelahiran kota Konstanz di Jerman 25 tahun silam ini mengawali pidatonya dengan diksi yang puitis. Ia mengajak audiens untuk bersama-sama merenungkan „Apa itu toleransi?“, tanya dia. Nicklas saat ini tengah berkuliah Bahasa Indonesia semester keempat di HTWG Konstanz, Jerman. Motivasinya ikut lomba ini karena dia ingin berkenalan dengan banyak orang dan ingin mengetahui sejauh mana kemampuannya berbahasa Indonesia. Pada bulan Agustus nanti dia juga berencana untuk mengunjungi negara-negara di Asia Tenggara.

Nicklas, yang juga sutradara film, dalam pidatonya menganalogikan bahwa proses pengambilan gambar untuk sebuah film itu bisa sampai 20 kali. Begitu juga dengan toleransi. Ia menganggap seseorang pasti akan membutuhkan waktu untuk dapat memiliki rasa toleran, terlebih di dunia baru. Menurutnya, toleransi juga bisa dibentuk mulai dari tingkat yang paling sederhana di rumah. Orang tua pada umumnya ingin membentuk karakter atau jati diri pada anak-anaknya. Salah satu hal yang ditanamkan di keluarganya adalah rasa toleransi terhadap sesama.

Lain halnya dengan Leonie Kress. Perempuan asal kota Hamburg ini pernah mengikuti lomba serupa pada tahun 2018 lalu. “Saya sangat tertarik dengan pertukaran budaya. Karena topik toleransi tahun ini sangat penting untuk berbagai budaya, saya menjadi termotivasi untuk mengikuti lomba pidato pada tahun ini.”, ungkap Leonie yang sangat fasih berbahasa Indonesia. “Selain itu, saya melihat kesempatan ini sebagai tantangan yang bagus untuk memperluas Bahasa Indonesia saya.”, sambungnya.

Dalam pidatonya, Leoni mengambil contoh keragaman agama di Indonesia. Dia begitu terkesan dengan toleransi beragama di Indonesia. Baginya, dengan diperingatinya hari-hari besar keagamaan menjadi hari libur nasional merupakan bentuk dari toleransi masyarakat Indonesia. Tentu saja hal itu berbeda dengan di negaranya. Selain itu, kebanyakan media di Jerman juga masih mengedepankan Islamophobia. Masih banyak media yang mengangkat tema hijab untuk perempuan muslim sebagai simbol agama yang menakutkan. Padahal baginya justru tindakan dan perilaku seseoranglah yang lebih penting untuk diperhatikan ketimbang hanya melihat apa yang dikenakannya. Di akhir pidato, Leonie menyebut kunci dari toleransi di Indonesia adalah „Bhineka Tunggal Ika“. Pidato Leonie tersebut diganjar juri menjadi pemenang ketiga lomba berpidato.

Pada kategori lomba bercerita, salah satu peserta bernama Olivia Morawiec berkisah tentang “Bawang Putih dan Bawang Merah”. Olivia kini sedang menempuh kuliah S1 Jurusan Asian Studies Management di University of Applied Sciences Konstanz, Jerman. Konsentrasi studinya adalah Business Administration, cultural studies South/ Southeast-Asia, dan Bahasa Indonesia. Selain bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, Olivia juga menguasai bahasa Inggris dan bahasa Polandia.

Saat itu, Olivia yang mengenakan rok panjang bermotif batik bercerita dibarengi dengan gestur tubuh serta mimik yang membuat penonton di Rumah Budaya Indonesia tertegun. Ia tidak hanya berkisah di atas panggung, namun juga melibatkan penonton dengan mengajaknya berdialog. Pemahaman terhadap ceritayang sangat baik dan alur cerita yang mengalir dibarengi kelancaran bertutur membuatnya menjadi pemenang lomba bercerita. Sebagai hadiahnya, ia akan dikirim ke Indonesia bulan Agustus mendatang. Adapun pemenang pertama lomba pidato tahun ini adalah Raphael Eric Kunert.

Di Indonesia, Olivia dan Raphael serta 40 peserta lainnya dari 21 negara berbeda akan mengikuti serangkaian kegiatan. Mereka akan dites Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), mengikuti lomba final lomba berpidato dan bercerita tingkat dunia, mengikuti upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia di istana negara, serta melakukan kunjungan budaya dan wisata. Tampak rasa senang dan haru terpancar di wajah Olivia dan Raphael karena mereka bisa menyisihkan para peserta lain untuk mewakili Jerman di level dunia nanti.

Tulisan ini pernah dimuat di TIMES Indonesia:

https://www.timesindonesia.co.id/read/213572/20190511/155034/darmasiswa-kesempatan-berkuliah-di-indonesia-untuk-orang-jerman/

Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) yang dikemukakan oleh Milton Bennett pada tahun 1986 mengasumsikan bahwa setiap individu di dalam budaya asing melewati tahap yang berbeda. Menurut Bennett, terdapat enam tahapan di mana individu bergerak dari sudut pandang etnosentris, dalam hal ini dia menganggap budaya sendiri lebih unggul dari budaya lain, ke sudut pandang etnorelatif, di mana semua budaya dianggap sama.

Pada fase pertama, penolakan (Denial), seseorang menyangkal bahwa ada perbedaan yang sangat kuat antara budaya satu dengan yang lain. Pada tingkat pertahanan (Defence), budaya lain seringkali dinilai dengan stereotip negatif suatu kelompok tertentu. Dalam fase ini, pembalikan sikap sendiri (Reversal ) memungkinkan, di mana seseorang menghargai budaya asing lebih tinggi dari budaya sendiri. Sebelum transisi ke fase etnorelatif kita mencoba meminimalkan perbedaan antar budaya (Minimisation). Individu yang telah mencapai Penerimaan (Acceptance ) dapat menerima bahwa ada perbedaan dan melihat semua budaya sama. Dalam fase adaptasi (Adaptation) seseorang dapat mengambil perilaku dan perspektif yang lain. Pada fase terakhir (Integration) seseorang dapat beralih antar budaya secara fleksibel dan kompeten. Menurut Bennett, tahapan-tahapan tersebut tidak harus diselesaikan secara berjenjang.

Literatur:

Bennett, Milton J. (1986). A developmental approach to training for intercultural sensitivity. International journal of intercultural relations 10: 2, 179-196.

 

Müller-Neumann (1986: 30) menyebutkan secara garis besar ada lima alasan atau motif mengapa orang belajar bahasa asing, yaitu sebagai berikut:

  1. Orang lain yang sukses belajar bahasa asing bisa menjadi salah satu pemicunya.
  2. Alasan pekerjaan atau dunia kerja.
  3. Alasan lingkungan sosial, contohnya: mempunyai hubungan dengan orang asing baik itu teman atau saudara.
  4. Alasan berkenalan dengan budaya asing.
  5. Pendidikan/pengetahuan secara umum.

Sementara itu, Walter Apelt (1981: 153) di dalam bukunya yang berjudul „Motivation und Fremdsprachenunterricht“ mengumpulkan berbagai alasan atau motif mengapa orang belajar bahasa asing. Ia menyebutnya sebagai katalog motif yang terdiri atas:

  1. Motif Sosial

Apelt menyebutkan bahwa motif masyarakat tidak boleh secara eksklusif disebut „motif sosial,“ karena pada akhirnya hampir setiap kategori subjek memiliki komponen sosial tertentu (Apelt 1981: 55). Dalam hal penguasaan bahasa asing, motif sosial harus dipahami sebagai usaha/persiapan seseorang menatap kehidupan profesional di dalam masyarakat di masa mendatang. Pelajar, terlepas dari aspirasi pribadi, juga memenuhi persyaratan masyarakat melalui pembelajaran bahasa asing.

  1. Motif Orang tua

Motivasi seseorang belajar bahasa asing juga dapat dipengaruhi oleh kualitas sikap orang tua terhadap pelajaran bahasa asing. Jika sikap orang tua terhadap pembelajaran bahasa asing terbuka dan positif, ini akan memiliki efek positif pada motivasi anak untuk belajar. Namun demikian, alasan/motif ini juga harus dipertimbangkan dari sudut pandang yang berbeda: Banyak dari mereka yang belajar bahasa asing untuk menyenangkan orang tua mereka. Selain itu, mereka juga ingin meniru mereka sebagai panutan atau agar sesuai dengan ide-ide mereka. Namun, semakin dewasa dan mandiri seorang pemelajar, semakin sedikit ia dapat terpengaruh oleh orang tua (Hennig 1978 in: Apelt 1981:65f.).

  1. Motif Kegunaan

Motif paling dasar dan paling mudah dipahami untuk pembelajaran bahasa asing adalah motif kegunaan, misalnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi-politik, atau untuk bertukar informasi budaya.

  1. Motif Pekerjaan

Motif pekerjaan sering memainkan peran penting selama masa sekolah ketika mempertimbangkan bahasa asing. Ini terkait erat dengan motif kegunaan, karena pelajar ingin memperoleh kualifikasi yang akan berguna baginya dalam kariernya nanti.

Kemungkinan lain adalah bahwa orang yang sudah berada dalam lingkungan kerja memilih untuk belajar bahasa asing karena mereka ingin lebih beradaptasi dengan lingkungan kerja mereka atau karena kebutuhan baru pekerjaan mereka.

  1. Motif Guru

Hampir mirip dengan motif atau karena alasan orang tua, motif ini lebih menonjol terutama di kalangan pelajar muda. Hal ini juga dapat dilihat sebagai semacam identifikasi sosial. Siswa berusaha memenuhi keinginan guru dan seolah-olah ingin menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi untuk itu.

  1. Motif Pengetahuan

Motif pengetahuan juga merupakan salah satu motif dasar seseorang belajar bahasa asing. Seseorang dapat menggambarkan motif ini sebagai pengetahuan atau kebutuhan akan pengetahuan yang melekat dalam diri manusia dan mendesaknya untuk belajar sesuatu tentang lingkungannya dan untuk memahaminya.

  1. Motif Rasa ingin tahu

Motif rasa ingin tahu adalah contoh utama dari motivasi intrinsik. Rasa haus akan pengetahuan dari para pemelajar sangat penting bagi pendidik dan mereka harus dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut. Penggunaan metode yang ditargetkan untuk menyampaikan pengetahuan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu para pemelajar merupakan hal yang penting.

  1. Motif Komunikasi

Motif lain mengapa seseorang belajar bahasa asing adalah karena dia perlu berkomunikasi dengan bahasa target. Pendidik harus selalu berusaha untuk melatih percakapan sealami mungkin. Guru juga diharapkan dapat menciptakan peluang di mana pelajar memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan tutur katanya. Terlalu banyak tata bahasa dalam pengajaran bahasa dapat menghambat keinginan siswa untuk berkomunikasi dan mungkin menghancurkan motif komunikasi nyata, serta komunikasi guru-siswa yang alami. (Apelt 1981: 87)

  1. Motif Pengakuan

Motif berikutnya dapat dipahami sebagai upaya seseorang agar mendapat pengakuan dan penghargaan dari kelompok tertentu (misalnya: di kelas), serta di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat memberi efek positif pada perilaku belajar bersama dengan motif lain, tetapi tidak selalu mendukung sebagai motif belajar. Belajar bahasa asing karena semata-mata demi mendapatkan gengsi secara pedagogis bukanlah tujuan utama.

  1. Motif Kontak

Motif kontak sangat umum dalam pengajaran bahasa asing karena mengekspresikan keinginan untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang lain. Bahasa asing dalam hal ini dapat dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan berkomunikasi. Alasannya adalah karena bahasa dan budaya dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang asing. Jika seseorang memiliki motif seperti ini sering kali dia memiliki keinginan untuk mengenal orang lain, baik karena dia ingin bertukar ide atau hanya karena alasan menjalin persahabatan.

  1. Motif Budaya

Motif budaya adalah keinginan untuk belajar lebih banyak tentang budaya negara target. Motif ini merupakan bagian dari motivasi integratif. Mempelajari bahasa asing akan lebih mudah jika pelajar terbuka untuk budaya Negara sasaran dan tertarik untuk belajar lebih banyak tentang negara dan rakyatnya. Pelajar bahasa asing senantiasa ingin belajar sebanyak mungkin tentang orang-orang dan adat istiadat Negara sasaran. Selain itu, dia juga berkeinginan untuk memiliki kontak dengan penduduk setempat dan berharap dapat mengalami budaya mereka (Schiftner 1998:51).

  1. Motif Liburan

Motif seseorang belajar bahasa asing karena alasan berlibur berkaitan juga dengan konteks motif komunikasi, motif budaya dan motif kegunaan. Bagi orang yang merencanakan liburan ke luar negeri dan ingin melakukan kontak dengan penduduk setempat, keterampilan bahasa asing yang diperoleh sebelumnya sangat bermanfaat.

  1. Motif Mengisi Waktu Senggang

Sebuah studi yang dilakukan oleh Müller-Neumann (1986: 88) menyatakan bahwa 34% dari responden menganggap belajar bahasa Perancis sebagai kegiatan waktu luang mereka yang berarti. Banyak responden menganggap pembelajaran bahasa sebagai hobi. Namun, klasifikasi ini lebih cenderung diamati pada orang dewasa daripada pada remaja. Anak-anak sekolah di usia remaja mereka pada umumnya mengaitkan waktu luang dengan kegiatan selain belajar.

  1. Motif Kesenangan

Ketertarikan terhadap bahasa, bunyi atau strukturnya dapat dipahami sebagai motif kesenangan. Pelajar yang belajar karena motif kesenangan biasanya akan senang belajar belajar secara mandiri bahasa target karena kesukaannya mendengar, membaca, dan berbicara bahasa tersebut. Menurut Schiftner hal itu merupakan motif hedonistik yang menyiratkan bahwa seseorang belajar bahasa untuk kepentingannya sendiri (Schiftner 1998: 53).

Motif „kesenangan“ bersama dengan motif untuk berlibur dan mengisi waktu luang menjadi motif „just for fun“.

  1. Motif Naik kelas

Dalam konteks ini, motif naik kelas tidak berhubungan dengan kenaikan jabatan (karier) atau status sosial, tetapi keinginan siswa untuk dapat naik ke kelas (sekolah) berikutnya. Motif ini terkait dengan motivasi ekstrinsik. Seorang siswa yang sedang belajar bahasa Jerman karena alasan tidak ingin dapat nilai buruk yang bisa menyebabkan dia tinggal kelas, maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk belajar bahasa Jerman baik pada saat proses belajar ataupun sebelum ujian. Motivasi ini sayangnya hanya efektif selama periode waktu yang relatif singkat.

Literatur:

Apelt, Walter (1981): Motivation und Fremdsprachenunterricht. Leipzig: Verlag Enzy-klopädie.

Müller-Neumann, Elisabeth; Nuissl Ekkehard; Sutter, Hannelore (1989): Motive des Fremdsprachenlernens. Eine Untersuchung der Motivationsstruktur an Sprachkursen der Volkshochschule. Heidelberg: AfeB-Verlag.

Schiftner, Claudia (1998): Einstellungen, Motivation und Lerntechniken von jugend-lichen und erwachsenen Französischlernern. Disertasi. Wien.

 

Model kompetensi antarbudaya yang paling terkenal berasal dari Byram (1997). Sebagian besar definisi kompetensi antarbudaya didasarkan pada model ini. Byram menyatakan secara eksplisit bahwa modelnya harus membantu guru bahasa untuk memahami konsep kompetensi antarbudaya (Byram 1997). Model ini juga memiliki dampak besar pada definisi kompetensi antarbudaya dalam Common Eropa Framework of Reference (CEFR) untuk bahasa dan pada standar nasional dan kurikulum untuk bahasa Inggris di Berlin dan Brandenburg. Model Byram didasarkan pada model kompetensi komunikatif Hymes dan van Eks (Lange 2011). Dimulai dengan analisis menyeluruh tentang faktor-faktor yang memengaruhi komunikasi antar budaya, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Byram membedakan antara lima savoir: pemahaman menggunakan pengetahuan budaya (savoir comprendre), pengetahuan aktual (savoirs), penilaian kritis terhadap diri dan budaya asing (savoir s’engager), sikap (savoir être) dan kemampuan untuk mengatur mendapatkan pengetahuan dan interaksi di lingkungan yang awalnya asing (savoir apprendre / faire). Elemen kesadaran budaya kritis ini menghubungkan pendekatan Byram (1997) dengan konsep studi budaya di ruang Anglo-Amerika (lihat Boeckmann 2006).

Menurut Byram, sikap ingin tahu dan keterbukaan, kesiapan, ketidakpercayaan dan penilaian mengenai makna, kepercayaan dan perilaku orang lain diperlukan untuk komunikasi antarbudaya yang sukses (Byram 1997: 34). Oleh karena itu, Byram merangkum sikap dengan kemampuan untuk menarik diri dari pandangan dunia dan identitas budaya seseorang.

Faktor penting lain yang dibawa individu ke komunikasi antarbudaya adalah pengetahuan mereka. Byram membagi pengetahuan ini menjadi dua kategori. Kategori pertama dideskripsikan sebagai „pengetahuan tentang kelompok sosial dan budaya mereka di negara mereka sendiri dan pengetahuan serupa tentang negara lawan bicaranya“. Kategori kedua memperhitungkan pengetahuan prosedural dan diringkas sebagai „pengetahuan tentang proses interaksi pada tingkat individu dan masyarakat“. Pengetahuan ini memperhitungkan perilaku linguistik dan budaya dari para peserta dalam komunikasi antar budaya.

Akhirnya, Byram berkomentar tentang dua keterampilan yang bergantung pada pengetahuan dan sikap para peserta dan dengan demikian memengaruhi efektivitas komunikasi antar budaya. Di satu sisi, ada kemampuan untuk menafsirkan dan memahami sebagai „kemampuan untuk menafsirkan, menjelaskan dan menghubungkan dokumen atau peristiwa dari budaya lain dengan dokumen mereka sendiri“. Kelompok keterampilan kedua digambarkan sebagai „kemampuan untuk memperoleh pengetahuan baru tentang budaya dan praktik budaya dan kemampuan untuk mengoperasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam kondisi komunikasi dan interaksi real-time“. Kedua keterampilan membutuhkan keterlibatan aktif para peserta dalam komunikasi antarbudaya.

Perspektif penilaian Byram memperkuat pendekatan evaluasi Tyler (1949) dan Boone (1985) dengan fokus pada tujuan yang jelas. Mempertimbangkan kompleksitas penilaian saling ketergantungan komponen kompetensi antarbudaya, Byram menganjurkan penilaian kinerja (berdasarkan kriteria) dibandingkan dengan metode penilaian berbasis standar tradisional yang mengisolasi komponen. Untuk tujuan ini, Byram menyarankan penggunaan portofolio siswa untuk menunjukkan pengembangan kompetensi antarbudaya siswa dari waktu ke waktu (Deardorff 2004).

Pengetahuan dan keterampilan peserta didik dievaluasi sebagaimana digunakan dalam kegiatan yang bisa menjadi aplikasi dari yang dipelajari (ibid.). Menurut Byram, manfaat menggunakan portofolio siswa untuk menilai kompetensi lintas budaya meliputi: Portofolio memberikan kombinasi penilaian spesifik dan holistik, memberikan kemampuan untuk melacak hubungan antara penilaian dan pengajaran / pembelajaran, memungkinkan untuk kombinasi kriteria dokumen referensi dan pengujian berbasis standar jika diinginkan, dan portofolio juga dapat memungkinkan berbagai tingkat atau tingkat kompetensi untuk ditetapkan dalam konteks situasi tertentu (ibid.).

Sumber:

Boeckmann, Klaus-Börge, 2006. Dimensionen von Interkulturalität im Kontext des Fremd- und Zweitsprachenunterrichts. In: Zeitschrift für Interkulturellen Fremdsprachenunterricht 11, 3-19.

Boone, E. J., (1985):  Developing programs in adult education.  Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Byram, M., 1997. Teaching and Assessing Intercultural Communicative Competence. Clevedon: Multilingual Matters.

Deardorff, D. K., 2004. The Identification and Assessment of Intercultural Competence as a Student Outcome of Internationalization at Institutions of  Higher Education in the United States. Unveröffentlichte Dissertation. North Carolina: North Carolina State University.

Lange, K., 2011. Perspectives on Intercultural Competence. A Textbook Analysis and an Empirical Study of Teachers‘ and Students‘ Attitudes. Master’s Thesis.  Freie Universität Berlin.

Tyler, R.W., 1949. Basic principles of curriculum and instruction.  Chicago:   University of Chicago Press.

 

 

American Council on International Intercultural Education (ACIIE) mengembangkan definisi tentang kompetensi global dan mengadopsi sembilan tujuan eksplisit dari „pelajar yang kompeten secara global“. Berikut delapan dari sembilan tujuan tersebut:

Pembelajar yang kompeten secara global:

  • diberdayakan oleh pengalaman pendidikan global untuk membantu membuat perbedaan di masyarakat;
  • berkomitmen untuk pembelajaran global seumur hidup;
  • menyadari keanekaragaman, persamaan dan saling ketergantungan;
  • mengakui saling ketergantungan geopolitik dan ekonomi dunia;
  • menerima pentingnya semua orang;
  • dapat bekerja di tim yang berbeda;
  • memahami non-universalitas budaya, agama, dan nilai-nilai; serta
  • menerima tanggung jawab atas kewarganegaraan global (ACIIE 1996).

Definisi ini mencakup banyak elemen berbeda yang tidak disebutkan dalam karya lain tentang kompetensi antar budaya. Elemen-elemen ini termasuk komitmen untuk belajar seumur hidup, kemampuan untuk bekerja dalam tim yang berbeda, dan tanggung jawab untuk kewarganegaraan global. Aspek lain yang unik untuk definisi ini termasuk tantangan membuat perbedaan dalam masyarakat, menghargai dampak budaya lain pada budaya sendiri, dan mengenali realitas geopolitik global saat ini dan saling ketergantungan ekonomi. Definisi ACIIE juga menekankan pentingnya semua orang dan pemahaman tentang non-universalitas budaya dan fenomena terkait. Kesembilan elemen ini bergabung untuk membedakan definisi ACIIE dari definisi lain dalam konteks konstruk kompetensi antarbudaya (Deardorff 2004).

Sumber:

American Council on International Intercultural Education (ACIIE),  1996. Educating for the global community:  A framework for community colleges. Proceedings von der stattgefundenen Konferenz in Airlie Center, Warrenton, VA. Abgerufen am 21. August 2003 (http://www.theglobalcommunitycollege.org/reports.html)

Deardorff, D. K., 2004. The Identification and Assessment of Intercultural Competence as a Student Outcome of Internationalization at Institutions of  Higher Education in the United States. Unveröffentlichte Dissertation. North Carolina: North Carolina State University.

 

Pulau Jawa dipilih sebagai pusat pemerintahan sudah sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karenanya, pengaruh kuat dari subkultur Jawa, seperti nilai dan standar dalam masyarakat Indonesia dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami budaya Indonesia (Tjitra 2001, Zeutschel/Tjitra 1997). „Budaya Indonesia secara tradisional bersifat kolektivis, terstruktur secara hierarkis dan didasarkan pada prinsip kontrol emosional“ (Berninghausen 2015).

Menurut Magnis-Suseno (1981), etika Jawa tradisional didasarkan pada empat perintah dasar, sebagai berikut:

  • mematuhi tradisi kelompoknya,
  • mengikuti bentuk kesopanan tradisional,
  • berperilaku hormat dalam hierarki sosial, dan
  • mengikuti prinsip pencegahan konflik.

Banyak yang mengatakan bahwa orang Jawa sangat terbuka terhadap pengaruh baru. Mereka memiliki karunia untuk tidak menggantikan nilai-nilai lama dengan yang baru, melainkan menyerapnya tanpa kehilangan nilai-nilai lama mereka (Berninghausen 2015). Contohnya adalah dalam sejarah Indonesia, agama-agama baru seperti Hindu dan Islam tidak diperangi melainkan menyatu bersama dengan agama-agama alam kuno (ibid.).

Berikut adalah beberapa standar budaya Indonesia (Tjitra/Zeutschel 2003):

  • Pencegahan konflik

Pencegahan konflik dapat berarti bahwa tidak ada perasaan negatif dan harus menjamin perdamaian dan keamanan (Berninghausen 2015). Kontrol diri dan penguasaan diri mutlak diperlukan dalam hal ini untuk perilaku tersebut. Kebanyakan orang Indonesia – terutama orang Jawa – biasanya berbicara dengan suara tenang, tanpa emosi, tertawa dan bercanda ketika ketegangan negatif mengancam. Perasaan negatif seperti kemarahan atau kesedihan biasanya tidak pernah ditunjukkan. Demikian juga, perasaan sukacita yang meluap-luap dapat dianggap sebagai tanda ketidakdewasaan (ibid.).

Aspek paling luar biasa dari perilaku „khas Indonesia“ bagi banyak pengunjung Barat adalah keramahan dan kurangnya agresifitas (Berninghausen 2015). Trompenaars dan Hall mengamati dan meyebut adanya dua dimensi budaya berbeda untuk hal ini, yaitu:

Netral Afektif
Tidak ingin mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Pikiran dan perasaan diungkapkan secara verbal dan non-verbal.
Ketegangan kadang-kadang dapat ditunjukkan dalam ekspresi atau sikap.

 

Transparansi dan ekspresif memiliki efek relaksasi.

 

Biasanya emosi yang ditahan tiba-tiba bisa meledak. Emosi dipertukarkan tanpa beban, bersemangat, dan tanpa rasa malu.
Penampilan keren dan kontrol diri dapat dikagumi.

 

Perilaku bersemangat, vital, ekspresif dapat dikagumi.

 

Kontak tubuh, gerak tubuh atau ekspresi wajah yang terlalu mencolok sering kali dianggap tabu. Kontak tubuh, gerak tubuh, dan ekspresi wajah yang mencolok sekalipun tidaklah tabu.
Pernyataan tertentu sering disampaikan dengan nada monoton. Pernyataan disampaikan dengan lancar dan cenderung dramatis.

Trompenaars (1993) membedakan budaya netral dan emosional. Dimensi ini memberi tahu kita sejauh mana ekspresi perasaan kuat dianggap tepat. Ekspresi perasaan dapat dilihat dalam budaya yang berbentuk emosional sebagai tanda komitmen dan minat pada orang lain (Berninghausen 2015).

Berninghausen (ibid.) menyatakan bahwa ada karakteristik tertentu dari kepribadian yang mendorong perilaku kompeten antarbudaya. Karakteristik yang disebut dalam pandangan mereka hanya sebagian dipelajari, yaitu: toleransi ambiguitas, empati, toleransi frustrasi, resolusi konflik dan kemampuan pemecahan masalah, kemauan untuk belajar, stabilitas pribadi, jarak dan humor (Berninghausen 2015).

  • Hubungan dan orientasi kelompok

Menurut Magnis-Suseno (1981, 1989), prinsip panduan pandangan dunia tradisional Jawa adalah asumsi bahwa nilai tertinggi yang harus dihormati manusia dalam semua hubungannya adalah harmoni (lihat juga Berninghausen 2015). Baik konsep harmoni maupun kekuasaan membutuhkan hubungan yang konstan dengan orang lain. „Ini membutuhkan sikap kolektivis yang kuat, yang didasarkan pada kebutuhan, sasaran, dan tujuan kelompok“ (Zeutschel/Tjitra 2003). Karena itu hubungan lebih penting daripada aturan dan fakta (lihat Trompenaars 1993). Kolektivisme dengan kebutuhan kuat akan kohesi kelompok terlihat di Indonesia. Ini jauh lebih jelas jika dibandingkan, misalnya, dengan Jerman (Berninghausen 2015). Dalam budaya yang sangat kolektif, seperti di Indonesia, orang diintegrasikan dari lahir ke dalam kelompok kohesif yang kuat (keluarga, desa, lingkaran teman, perusahaan). Alasan untuk ini adalah bahwa kelompok memberi mereka perlindungan, keamanan dan dukungan (ibid.).

Ciri-ciri Budaya Kolektif Ciri-ciri Budaya Individual
Identitas didasarkan pada jejaring sosial tempat seseorang berada. Identitas didasarkan pada individu.

 

Seseorang harus selalu menjaga harmoni dan menghindari konfrontasi langsung. Mengekspresikan pendapat adalah tanda orang yang tulus.
Komunikasi cenderung tidak langsung. Komunikasi secara faktual langsung.
  • Pemikiran hierarkis

Bagaimana suatu masyarakat berurusan dengan perbedaan dalam kekuasaan? Atau dengan kata lain: Sejauh mana anggota masyarakat yang lebih lemah menerima distribusi kekuasaan yang tidak setara, diberi peringkat berbeda dalam budaya (Berninghausen 2015). Hofstede (2010) menyebutnya sebagai dimensi „jarak kekuasaan“. Dimensi ini menggambarkan tingkat ketimpangan dalam hal kekuasaan, pengaruh, status, prestise, dan kekayaan (Berninghausen 2015).

Prinsip „respek“ mensyaratkan bahwa seseorang harus selalu berperilaku baik dalam bertutut ataupun gerak tubuh, sebagaimana layaknya pangkat lainnya (Magnis-Suseno 1989). Yang penting juga dalam prinsip ini bukanlah keyakinan batin, tetapi hanya sikap lahiriah.  Perilaku seseorang dapat menunjukkan tingkat pendidikan, peradaban, dan toleransi (Tjitra/Zeutschel 2003).

Di Indonesia, status hierarki seseorang ditentukan oleh usia, jenis kelamin, latar belakang, pendidikan, dan status pekerjaan. Dalam hal ini ada terdapat campuran faktor biologis, yang diturunkan dan didapat seseorang (ibid.). Ini adalah dasar dari konsep kekuatan hierarkis di Indonesia. Konsep ini terkait erat dengan konsep harmoni Jawa (ibid.).

Sumber:

Berninghausen, Jutta, 2015. Indonesien Verstehen. Ein interkultureller Leitfaden. Bremen; Boston: KellnerVerlag. 

Magnis-Suseno, F., 1981. Javanische Weisheit und Ethik. Studien zu einer östlichen Moral. München: De Gruyter Oldenbourg.

Magnis-Suseno, F., 1989. Neue Schwingen für Garuda: Indonesien zwischen Tradition und Moderne. München: Kindt.

Tjitra, H. W., 2001. Synergiepotenziale und interkulturelle Probleme: Chancen und Herausforderungen am Beispiel deutsch-indonesischer Arbeitsgruppen. Wiesbaden: Deutscher Universitätsverlag.

Trompenaars, F., 1993. Handbuch globales Management: Wie man kulturelle Unterschiede im Geschäftsleben versteht. Düsseldorf ; Wien ; New York ; Moskau: ECON-Verl.

Zeutschel, U./Tjitra, H.W., 1997. Ergebnisse der SYNTEX-Planspieluntersuchungen mit deutschen und indonesischen Arbeitsgruppen. Universität Regensburg, Institut für Psychologie (Unveröffentlichtes Arbeitspapier).

Zeutschel, U./Tjitra, H.W., 2003. Südostasien: Indonesien. In: Thomas, A. et al. (Hg.), 2003. Handbuch Interkulturelle Kommunikation und Kooperation. Band 2: Länder, Kulturen und interkulturelle Berufstätigkeit. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht,197-210.