Pada tahun 1986, Milton Bennett menawarkan sebuah model pengembangan kepekaan lintas budaya yang disebut “Developmental Model of Intercultural Sensitivity” (DMIS) untuk menggambarkan serangkaian kesuksesan fase dalam komunikasi lintas budaya. Model ini termasuk ke dalam model klasik kompetensi lintas budaya dan telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana perbedaan budaya terbentuk. DMIS membentuk pengembangan lintas budaya dalam kaitannya dengan fenomenologi pembangunan keragaman budaya dalam hal afektif, kognitif dan tindakan (Hesse 2009).
DMIS adalah konsep dasar untuk pengembangan kompetensi lintas budaya baik untuk dunia pendidikan seperti di sekolah maupun untuk pelatihan-pelatihan di luar sekolah (Bennett, Allen 2003). Bennett mengamati secara seksama siswa, pelatih, dan pendidik. Dia menemukan bahwa individu menghadapi perbedaan budaya dengan cara yang dapat diprediksi ketika mereka belajar untuk menjadi komunikator lintas budaya yang lebih kompeten (Bennett & Hammer 1998).
Berdasarkan pengalaman praktis, Bennett menjelaskan enam fase yang menunjukkan bagaimana seseorang dapat mengalami perbedaan budaya. Enam tahap pengembangan berturut-turut dibagi menjadi tiga tahap yang termasuk fase etnosentris (penolakan, pertahanan, minimalisasi) dan tiga tahap etnorelatif (penerimaan, adaptasi, integrasi) (Bennett 1993, Bennett dkk. 2003)
Bennett mengelompokkan enam tahapan tersebut menjadi: 1) tahapan etnosentris, di mana filosofi hidup dan budaya seseorang memainkan peran sentral dalam memahami realitas, dan 2) tahapan etnologi, di mana budaya sendiri dipahami dalam kaitannya dengan budaya lain. Peningkatan pengalaman budaya memfasilitasi pengembangan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Beberapa karakter dari setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut:
Tahapan etnosentris
Etnosentrisme berasumsi bahwa „cara pandang tentang budaya seseorang adalah pusat dari semua realitas“ (Bennett 1993).
Tahap ke-1: penolakan keragaman
Tingkat etnosentris yang paling rendah dicirikan oleh sikap acuh tak acuh tanpa menebarkan kebencian, ketidakpastian atau ketidaktahuan perbedaan budaya. Dengan kata lain bahwa
- orang yang berada dalam tahapan ini hidup secara terisolasi dalam kelompok homogennya sendiri, ia tidak tertarik untuk mengalami perbedaan;
- ia sengaja menjauhkan diri dari perbedaan budaya untuk melindungi cara pandangnya sendiri.
Tahap ke-2: Kebal terhadap keberagaman
Perbedaan budaya diakui, disorot dan dievaluasi secara negatif. Pada tahap ini, orang-orang dari budaya lain dianggap mengancam, yang direspons dengan cara melindunginya melalui cara pandang mereka sendiri. Seseorang berpikir bahwa budayanya sendiri adalah yang terbaik, itulah sebabnya mereka
- merendahkan budaya lain;
- merasa budayanya lebih unggul dari superioritas budaya lain;
- menganggap budaya yang diadopsi lebih unggul dari budaya aslinya sendiri (kebalikan).
Tahap ke-3: meminimalisasi keberagaman
Perbedaan antara budaya digambarkan sebagai superfisial. Orang-orang dianggap benar sejak awal.
- Universalisme Fisik: Semua manusia memiliki karakteristik fisik yang sama: mereka harus makan, bereproduksi dan mati. Karakteristik biologis umum ini menentukan perilaku secara fundamental yang dapat dikenali di semua budaya.
- Universalisme Transendental: Apakah orang mengetahuinya atau tidak, pada dasarnya semua orang berbagi nilai universal yang sama. Seseorang berpikir bahwa elemen-elemen dari sudut pandang budayanya sendiri dialami sebagai hal universal.
Tahapan etnorelatif
Etnorelativisme berasumsi bahwa „kebudayaan hanya dapat dipahami secara relatif dan perilaku tertentu hanya dapat dipahami dalam konteks budaya“.
Tahap ke-4: Menerima keberagaman
Di tingkat etnorelatif yang paling rendah, perbedaan budaya diakui dan dihargai. Keanekaragaman diterima seperti dengan wajar dan diinginkan. Pada tahapan ini pula, seseorang menunjukkan rasa ingin tahunya dan menghormati perbedaan budaya.
Seseorang mengakui dan menerima kenyataan bahwa budayanya hanyalah salah satu dari sekian banyaknya cara pandang yang begitu rumit. Itulah sebabnya seseorang harus dapat
- menghormati perbedaan perilaku;
- menghormati perbedaan nilai: bahwa semua nilai dan keyakinan ada dalam konteks budaya.
Tahap ke-5: Adaptasi terhadap keberagaman
Pada tahap ini seseorang mencoba berempati dengan orang-orang dari latar budaya berbeda dan memahami pemikiran orang lain, yang dapat mengubah perspektif mereka. Komunikasi dan interaksi lintas budaya dapat dikatakan berhasil jika semua pihak merasa puas, tetapi mereka tetap dapat mempertahankan nilai dan tujuan mereka sendiri.
Tahap ke-6: Integrasi dalam keanekaragaman
Tingkat etnorelatif tertinggi terletak pada mereka yang dapat menginternalisasi setidaknya dua budaya dan mampu mengatasi rintangan budaya mereka sendiri. Pada saat yang sama, mereka menemukan jati diri mereka dalam budaya asli mereka.
Literatur:
Silahkan menghubungi saya melalui e-mail jika memerlukan sumber bacaan tersebut.