Mit ‘etnosentris’ getaggte Beiträge

Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) yang dikemukakan oleh Milton Bennett pada tahun 1986 mengasumsikan bahwa setiap individu di dalam budaya asing melewati tahap yang berbeda. Menurut Bennett, terdapat enam tahapan di mana individu bergerak dari sudut pandang etnosentris, dalam hal ini dia menganggap budaya sendiri lebih unggul dari budaya lain, ke sudut pandang etnorelatif, di mana semua budaya dianggap sama.

Pada fase pertama, penolakan (Denial), seseorang menyangkal bahwa ada perbedaan yang sangat kuat antara budaya satu dengan yang lain. Pada tingkat pertahanan (Defence), budaya lain seringkali dinilai dengan stereotip negatif suatu kelompok tertentu. Dalam fase ini, pembalikan sikap sendiri (Reversal ) memungkinkan, di mana seseorang menghargai budaya asing lebih tinggi dari budaya sendiri. Sebelum transisi ke fase etnorelatif kita mencoba meminimalkan perbedaan antar budaya (Minimisation). Individu yang telah mencapai Penerimaan (Acceptance ) dapat menerima bahwa ada perbedaan dan melihat semua budaya sama. Dalam fase adaptasi (Adaptation) seseorang dapat mengambil perilaku dan perspektif yang lain. Pada fase terakhir (Integration) seseorang dapat beralih antar budaya secara fleksibel dan kompeten. Menurut Bennett, tahapan-tahapan tersebut tidak harus diselesaikan secara berjenjang.

Literatur:

Bennett, Milton J. (1986). A developmental approach to training for intercultural sensitivity. International journal of intercultural relations 10: 2, 179-196.

 

Pada tahun 1986, Milton Bennett menawarkan sebuah model pengembangan kepekaan lintas budaya yang disebut “Developmental Model of Intercultural Sensitivity”  (DMIS) untuk menggambarkan serangkaian kesuksesan fase dalam komunikasi lintas budaya. Model ini termasuk ke dalam model klasik kompetensi lintas budaya dan telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana perbedaan budaya terbentuk. DMIS membentuk pengembangan lintas budaya dalam kaitannya dengan fenomenologi pembangunan keragaman budaya dalam hal afektif, kognitif dan tindakan (Hesse 2009).

DMIS adalah konsep dasar untuk pengembangan kompetensi lintas budaya baik untuk dunia pendidikan seperti di sekolah maupun untuk pelatihan-pelatihan di luar sekolah (Bennett, Allen 2003). Bennett mengamati secara seksama siswa, pelatih, dan pendidik. Dia menemukan bahwa individu menghadapi perbedaan budaya dengan cara yang dapat diprediksi ketika mereka belajar untuk menjadi komunikator lintas budaya yang lebih kompeten (Bennett & Hammer 1998).

Berdasarkan pengalaman praktis, Bennett menjelaskan enam fase yang menunjukkan bagaimana seseorang dapat mengalami perbedaan budaya. Enam tahap pengembangan berturut-turut dibagi menjadi tiga tahap yang termasuk fase etnosentris (penolakan, pertahanan, minimalisasi) dan tiga tahap etnorelatif (penerimaan, adaptasi, integrasi) (Bennett 1993, Bennett dkk. 2003)

Bennett mengelompokkan enam tahapan tersebut menjadi: 1) tahapan etnosentris, di mana filosofi hidup dan budaya seseorang memainkan peran sentral dalam memahami realitas, dan 2) tahapan etnologi, di mana budaya sendiri dipahami dalam kaitannya dengan budaya lain. Peningkatan pengalaman budaya memfasilitasi pengembangan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Beberapa karakter dari setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut:

Tahapan etnosentris

Etnosentrisme berasumsi bahwa „cara pandang tentang budaya seseorang adalah pusat dari semua realitas“ (Bennett 1993).

Tahap ke-1: penolakan keragaman

Tingkat etnosentris yang paling rendah dicirikan oleh sikap acuh tak acuh tanpa menebarkan kebencian, ketidakpastian atau ketidaktahuan perbedaan budaya. Dengan kata lain bahwa

  • orang yang berada dalam tahapan ini hidup secara terisolasi dalam kelompok homogennya sendiri, ia tidak tertarik untuk mengalami perbedaan;
  • ia sengaja menjauhkan diri dari perbedaan budaya untuk melindungi cara pandangnya sendiri.

Tahap ke-2: Kebal terhadap keberagaman

Perbedaan budaya diakui, disorot dan dievaluasi secara negatif. Pada tahap ini, orang-orang dari budaya lain dianggap mengancam, yang direspons dengan cara melindunginya melalui cara pandang mereka sendiri. Seseorang berpikir bahwa budayanya sendiri adalah yang terbaik, itulah sebabnya mereka

  • merendahkan budaya lain;
  • merasa budayanya lebih unggul dari superioritas budaya lain;
  • menganggap budaya yang diadopsi lebih unggul dari budaya aslinya sendiri (kebalikan).

Tahap ke-3: meminimalisasi keberagaman

Perbedaan antara budaya digambarkan sebagai superfisial. Orang-orang dianggap benar sejak awal.

  • Universalisme Fisik: Semua manusia memiliki karakteristik fisik yang sama: mereka harus makan, bereproduksi dan mati. Karakteristik biologis umum ini menentukan perilaku secara fundamental yang dapat dikenali di semua budaya.
  • Universalisme Transendental: Apakah orang mengetahuinya atau tidak, pada dasarnya semua orang berbagi nilai universal yang sama. Seseorang berpikir bahwa elemen-elemen dari sudut pandang budayanya sendiri dialami sebagai hal universal.

Tahapan etnorelatif

Etnorelativisme berasumsi bahwa „kebudayaan hanya dapat dipahami secara relatif dan perilaku tertentu hanya dapat dipahami dalam konteks budaya“.

Tahap ke-4: Menerima keberagaman

Di tingkat etnorelatif yang paling rendah, perbedaan budaya diakui dan dihargai. Keanekaragaman diterima seperti dengan wajar dan diinginkan. Pada tahapan ini pula, seseorang menunjukkan rasa ingin tahunya dan menghormati perbedaan budaya.

Seseorang mengakui dan menerima kenyataan bahwa budayanya hanyalah salah satu dari sekian banyaknya cara pandang yang begitu rumit. Itulah sebabnya seseorang harus dapat

  • menghormati perbedaan perilaku;
  • menghormati perbedaan nilai: bahwa semua nilai dan keyakinan ada dalam konteks budaya.

Tahap ke-5: Adaptasi terhadap keberagaman

Pada tahap ini seseorang mencoba berempati dengan orang-orang dari latar budaya berbeda dan memahami pemikiran orang lain, yang dapat mengubah perspektif mereka. Komunikasi dan interaksi lintas budaya dapat dikatakan berhasil jika semua pihak merasa puas, tetapi mereka tetap dapat mempertahankan nilai dan tujuan mereka sendiri.

Tahap ke-6: Integrasi dalam keanekaragaman

Tingkat etnorelatif tertinggi terletak pada mereka yang dapat menginternalisasi setidaknya dua budaya dan mampu mengatasi rintangan budaya mereka sendiri. Pada saat yang sama, mereka menemukan jati diri mereka dalam budaya asli mereka.

 

Literatur:

Silahkan menghubungi saya melalui e-mail jika memerlukan sumber bacaan tersebut.

 

Lambert dan Klineberg (1967) mengungkapkan bahwa anak-anak pada usia sepuluh tahun sangat terbuka untuk orang asing. Namun, sikap positif ini semakin menurun ketika usia mereka beranjak dan mengarah ke fiksasi yang semakin kuat pada kelompoknya sendiri.

Pernyataan tersebut bagi pemerolehan bahasa asing menyiratkan bahwa usia sepuluh tahun adalah usia yang optimal untuk area afektif pembelajaran bahasa asing. Sikap etnosentris yang dihasilkan, jika terlalu menonjol dapat berdampak negatif pada pembelajaran bahasa asing.

Schumann (1975) melakukan beberapa penelitian mengenai hubungan antara usia dan variabel afektif dalam pembelajaran bahasa. Hipotesis berikut ini merupakan peran variabel afektif dalam pembelajaran bahasa asing anak-anak dan orang dewasa:

– Penguatan kepribadian yang dimulai dengan masa pubertas menyulitkan orang dewasa untuk menerima norma-norma asing yang terkait dengan pemerolehan bahasa lain.

– Anak-anak belajar bahasa asing lebih mudah daripada orang dewasa karena mereka merasa „tidak ada masalah“ dengan bahasa yang sedang dipelajari tersebut. Selain itu, mereka bersedia mencari bantuan dari orang lain pada saat proses pembelajaran berlangsung. Namun, mereka tidak berada dalam keadaan tergantung akan hal itu, seperti halnya pada orang dewasa.

Sikap terbuka dari pemelajar remaja memiliki efek positif pada pengajaran bahasa asing. Anak-anak yang belajar bahasa asing pada umumnya mau menirukan apa yang dicontohkan oleh guru misalnya daripada remaja atau orang dewasa. Mereka tidak malu-malu untuk meniru.

Wilkins (1972) menjelaskan secara spesifik perbedaan usia ini sebagai berikut:

Activities like imitation and repetition, which many feel to be an inevitable part of language teaching, are apparently often a source of pleasure to the young children, whereas in the older learner they may do little more than cause irritation. At a time, too, when the approved methods of language teaching are largely inductive, they would seem to fit more neatly into the primary than the secondary classroom. The other thing is that inhibition is a very severe handicap to language learning. The primary age child usually lacks all the self-consciousness of the older learner and to perform in it without feeling at risk of making a fool of himself.

Dari penjelasan Wilkins tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa motivasi pemelajar dewasa bahasa asing akan lambat laun menurun jika muatan pembelajaran terlalu kekanak-kanakan. Sikap dan motivasi dari pemelajar bahasa asing dapat berubah seiring berjalannya waktu. Sering terjadi bahwa motivasi pemelajar tersebut berangsur-angsur berkurang dibandingkan pada saat awal pembelajaran. Ada terdapat berbagai alasan mengapa motivasi tersebut menurun atau bahkan hilang. Kemungkinan penyebabnya misalnya kesulitan belajar karena tuntutan untuk menguasai bahasa asing pada murid lebih tinggi dari seharusnya. Selain itu, metode pengajaran dan pembelajaran seringkali  tidak sesuai bagi siswa dengan berbagai karakter yang berbeda-beda.

Alasan lain mengenai hilangnya motivasi ini juga karena upaya jangka panjang yang diperlukan untuk menguasai bahasa kedua (long-term effort needed to master a second language). Pemelajar yang pada awalnya termotivasi untuk belajar bahasa asing, tetapi tidak memiliki “stamina” yang diperlukan untuk belajar bahasa asing lama kelamaan memungkinkan untuk mengalami kegagalan. Hilangnya motivasi belajar karena kegagalan yang dialami pemelajar berkaitan erat dengan fenomena „sekuensialitas“ (tahapan dalam mempelajari bab demi bab saat belajar bahasa). Sebuah keberhasilan tersebut sangat bergantung pada apa yang telah dipelajari sebelumnya. Kegagalan bab sebelumnya tentunya berdampak negatif pada motivasi pemelajar. Sekuensialitas merupakan ciri khas dari „karakter“ pembelajaran bahasa asing.

Literatur:

Silahkan menghubungi saya melalui e-mail jika memerlukan sumber bacaan tersebut.