Mit ‘perilaku khas Indonesia’ getaggte Beiträge

Pulau Jawa dipilih sebagai pusat pemerintahan sudah sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karenanya, pengaruh kuat dari subkultur Jawa, seperti nilai dan standar dalam masyarakat Indonesia dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami budaya Indonesia (Tjitra 2001, Zeutschel/Tjitra 1997). „Budaya Indonesia secara tradisional bersifat kolektivis, terstruktur secara hierarkis dan didasarkan pada prinsip kontrol emosional“ (Berninghausen 2015).

Menurut Magnis-Suseno (1981), etika Jawa tradisional didasarkan pada empat perintah dasar, sebagai berikut:

  • mematuhi tradisi kelompoknya,
  • mengikuti bentuk kesopanan tradisional,
  • berperilaku hormat dalam hierarki sosial, dan
  • mengikuti prinsip pencegahan konflik.

Banyak yang mengatakan bahwa orang Jawa sangat terbuka terhadap pengaruh baru. Mereka memiliki karunia untuk tidak menggantikan nilai-nilai lama dengan yang baru, melainkan menyerapnya tanpa kehilangan nilai-nilai lama mereka (Berninghausen 2015). Contohnya adalah dalam sejarah Indonesia, agama-agama baru seperti Hindu dan Islam tidak diperangi melainkan menyatu bersama dengan agama-agama alam kuno (ibid.).

Berikut adalah beberapa standar budaya Indonesia (Tjitra/Zeutschel 2003):

  • Pencegahan konflik

Pencegahan konflik dapat berarti bahwa tidak ada perasaan negatif dan harus menjamin perdamaian dan keamanan (Berninghausen 2015). Kontrol diri dan penguasaan diri mutlak diperlukan dalam hal ini untuk perilaku tersebut. Kebanyakan orang Indonesia – terutama orang Jawa – biasanya berbicara dengan suara tenang, tanpa emosi, tertawa dan bercanda ketika ketegangan negatif mengancam. Perasaan negatif seperti kemarahan atau kesedihan biasanya tidak pernah ditunjukkan. Demikian juga, perasaan sukacita yang meluap-luap dapat dianggap sebagai tanda ketidakdewasaan (ibid.).

Aspek paling luar biasa dari perilaku „khas Indonesia“ bagi banyak pengunjung Barat adalah keramahan dan kurangnya agresifitas (Berninghausen 2015). Trompenaars dan Hall mengamati dan meyebut adanya dua dimensi budaya berbeda untuk hal ini, yaitu:

Netral Afektif
Tidak ingin mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Pikiran dan perasaan diungkapkan secara verbal dan non-verbal.
Ketegangan kadang-kadang dapat ditunjukkan dalam ekspresi atau sikap.

 

Transparansi dan ekspresif memiliki efek relaksasi.

 

Biasanya emosi yang ditahan tiba-tiba bisa meledak. Emosi dipertukarkan tanpa beban, bersemangat, dan tanpa rasa malu.
Penampilan keren dan kontrol diri dapat dikagumi.

 

Perilaku bersemangat, vital, ekspresif dapat dikagumi.

 

Kontak tubuh, gerak tubuh atau ekspresi wajah yang terlalu mencolok sering kali dianggap tabu. Kontak tubuh, gerak tubuh, dan ekspresi wajah yang mencolok sekalipun tidaklah tabu.
Pernyataan tertentu sering disampaikan dengan nada monoton. Pernyataan disampaikan dengan lancar dan cenderung dramatis.

Trompenaars (1993) membedakan budaya netral dan emosional. Dimensi ini memberi tahu kita sejauh mana ekspresi perasaan kuat dianggap tepat. Ekspresi perasaan dapat dilihat dalam budaya yang berbentuk emosional sebagai tanda komitmen dan minat pada orang lain (Berninghausen 2015).

Berninghausen (ibid.) menyatakan bahwa ada karakteristik tertentu dari kepribadian yang mendorong perilaku kompeten antarbudaya. Karakteristik yang disebut dalam pandangan mereka hanya sebagian dipelajari, yaitu: toleransi ambiguitas, empati, toleransi frustrasi, resolusi konflik dan kemampuan pemecahan masalah, kemauan untuk belajar, stabilitas pribadi, jarak dan humor (Berninghausen 2015).

  • Hubungan dan orientasi kelompok

Menurut Magnis-Suseno (1981, 1989), prinsip panduan pandangan dunia tradisional Jawa adalah asumsi bahwa nilai tertinggi yang harus dihormati manusia dalam semua hubungannya adalah harmoni (lihat juga Berninghausen 2015). Baik konsep harmoni maupun kekuasaan membutuhkan hubungan yang konstan dengan orang lain. „Ini membutuhkan sikap kolektivis yang kuat, yang didasarkan pada kebutuhan, sasaran, dan tujuan kelompok“ (Zeutschel/Tjitra 2003). Karena itu hubungan lebih penting daripada aturan dan fakta (lihat Trompenaars 1993). Kolektivisme dengan kebutuhan kuat akan kohesi kelompok terlihat di Indonesia. Ini jauh lebih jelas jika dibandingkan, misalnya, dengan Jerman (Berninghausen 2015). Dalam budaya yang sangat kolektif, seperti di Indonesia, orang diintegrasikan dari lahir ke dalam kelompok kohesif yang kuat (keluarga, desa, lingkaran teman, perusahaan). Alasan untuk ini adalah bahwa kelompok memberi mereka perlindungan, keamanan dan dukungan (ibid.).

Ciri-ciri Budaya Kolektif Ciri-ciri Budaya Individual
Identitas didasarkan pada jejaring sosial tempat seseorang berada. Identitas didasarkan pada individu.

 

Seseorang harus selalu menjaga harmoni dan menghindari konfrontasi langsung. Mengekspresikan pendapat adalah tanda orang yang tulus.
Komunikasi cenderung tidak langsung. Komunikasi secara faktual langsung.
  • Pemikiran hierarkis

Bagaimana suatu masyarakat berurusan dengan perbedaan dalam kekuasaan? Atau dengan kata lain: Sejauh mana anggota masyarakat yang lebih lemah menerima distribusi kekuasaan yang tidak setara, diberi peringkat berbeda dalam budaya (Berninghausen 2015). Hofstede (2010) menyebutnya sebagai dimensi „jarak kekuasaan“. Dimensi ini menggambarkan tingkat ketimpangan dalam hal kekuasaan, pengaruh, status, prestise, dan kekayaan (Berninghausen 2015).

Prinsip „respek“ mensyaratkan bahwa seseorang harus selalu berperilaku baik dalam bertutut ataupun gerak tubuh, sebagaimana layaknya pangkat lainnya (Magnis-Suseno 1989). Yang penting juga dalam prinsip ini bukanlah keyakinan batin, tetapi hanya sikap lahiriah.  Perilaku seseorang dapat menunjukkan tingkat pendidikan, peradaban, dan toleransi (Tjitra/Zeutschel 2003).

Di Indonesia, status hierarki seseorang ditentukan oleh usia, jenis kelamin, latar belakang, pendidikan, dan status pekerjaan. Dalam hal ini ada terdapat campuran faktor biologis, yang diturunkan dan didapat seseorang (ibid.). Ini adalah dasar dari konsep kekuatan hierarkis di Indonesia. Konsep ini terkait erat dengan konsep harmoni Jawa (ibid.).

Sumber:

Berninghausen, Jutta, 2015. Indonesien Verstehen. Ein interkultureller Leitfaden. Bremen; Boston: KellnerVerlag. 

Magnis-Suseno, F., 1981. Javanische Weisheit und Ethik. Studien zu einer östlichen Moral. München: De Gruyter Oldenbourg.

Magnis-Suseno, F., 1989. Neue Schwingen für Garuda: Indonesien zwischen Tradition und Moderne. München: Kindt.

Tjitra, H. W., 2001. Synergiepotenziale und interkulturelle Probleme: Chancen und Herausforderungen am Beispiel deutsch-indonesischer Arbeitsgruppen. Wiesbaden: Deutscher Universitätsverlag.

Trompenaars, F., 1993. Handbuch globales Management: Wie man kulturelle Unterschiede im Geschäftsleben versteht. Düsseldorf ; Wien ; New York ; Moskau: ECON-Verl.

Zeutschel, U./Tjitra, H.W., 1997. Ergebnisse der SYNTEX-Planspieluntersuchungen mit deutschen und indonesischen Arbeitsgruppen. Universität Regensburg, Institut für Psychologie (Unveröffentlichtes Arbeitspapier).

Zeutschel, U./Tjitra, H.W., 2003. Südostasien: Indonesien. In: Thomas, A. et al. (Hg.), 2003. Handbuch Interkulturelle Kommunikation und Kooperation. Band 2: Länder, Kulturen und interkulturelle Berufstätigkeit. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht,197-210.